Nelly Suriani Purba


Cerita Nelly Suriani Purba, Guru Bahasa Indonesia di Desa Terpencil
Sulit beradaptasi karena Mayoritas Anak Menggunakan Bahasa Ibu

Menjadi tenaga pendidik terutama di desa terpencil tidaklah gampang. Banyak rintangan yang dihadapi. Salah satunya sulit berkomunikasi karena mayoritas siswa menggunakan bahasa ibu dan bahasa Indonesia masih dianggap bahasa asing bagi mereka.

ARIFIN, Sampit

TAHUN 1987 merupakan awal perjalanan Nelly Suriani Purba menginjakkan kakinya di Desa Buntut Bali, Kabupaten Katingan (dulu masih masuk Kabupaten Kotawaringin Timur). Dia ditugaskan sebagai guru bahasa Indonesia di SMPN 1 Pulau Malan. Dari situlah awalnya dia mulai memperkenalkan bahasa Indonesia kepada anak didiknya.
Meskipun hanya 2 tahun bertugas di SMPN 1 Pulau Malan, Nelly memiliki pengalaman yang tidak pernah dia lupakan yakni sulitnya melakukan komunikasi kepada warga setempat terlebih-lebih dengan anak didiknya. Pasalnya, bahasa pengantar yang disampaikan pada saat berkomunikasi mengunakan bahasa daerah Dayak Katingan.
Yang dianggap sulit bagi Nelly, dia hanya menguasai bahasa Indonesia, sedangkan kenyataan di lapangan bahasa pengantarnya adalah bahasa dayak Katingan. Hal ini, sudah jelas menjadi penghambat bagi dia untuk melakukan komunikasi secara interaktif dengan warga maupun anak didiknya.
Sebagai guru, Nelly tidak menyerah begitu saja, berkat pengalaman dan sering berbaur kepada masyarakat setempat, kurang lebih 3 bulan bahasa daerah dayak Katingan akhirnya dia kuasai dengan baik. “Waktu pertama kali mengajar di depan kelas, banyak siswa yang tidak paham apa yang saya jelaskan karena waktu itu saya menggunakan bahasa Indonesia. Sementara bahasa pengantar waktu itu kebanyakan menggunakan bahasa ibu (dayak katingan) supaya cepat dipahami oleh siswa,” tuturnya kepada Radar Sampit ketika dibincangi di SMPN 1 RSBI Sampit, kemarin (15/10).
Meskipun bahasa dayak Katingan dikuasai dengan baik, akan tetapi pada saat di sekolah Nelly tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar terutama berada di depan kelas. “Saya tetap menekankan kepada anak didik ketika belajar tetap menggunakan bahasa Indonesia kecuali diluar jam belajar,” ujar ibu kelahiran Pematang Siantar ini.
Berkat sabar dan niat ikhlas, Nelly akhirnya mampu mengubah kebiasaan siswa di SMPN 1 Pulau Malan ketika berkomunikasi. Jika dulu menggunakan bahasa ibu, sekarang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. “Sekarang sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu terutama di sekolah. Mereka sudah jarang menggunakan bahasa dayak Katingan,” katanya bangga.
Setelah tahun 1989, akhirnya Nelly ditarik untuk mengajar di SMPN 1 Sampit. Akan tetapi, disekolah favorit ini dia mengaku berbeda ketika mengajar di SMPN 1 Pulau Malan. “Di SMPN 1 Sampit ini siswanya sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, tidak terlalu sulit ketika berkomunikasi pada saat mengajar didepan kelas,” jelas Nelly.
Bahkan, menurut Nelly, di SMPN 1 Sampit yang sekarang menyandang lebel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) bukan hanya bahasa Indonesia yang dijadikan bahasa pengantar melainkan sudah masuk bahasa Inggris. “Kalau dulu dipanggil ibu, sekarang di RSBI ini mom,” paparnya sambil terkekeh.
Kini Nelly yang juga pengurus Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) “Laskar Pelangi” Kabupaten Kotim ini mengaku sangat bangga. Pasalnya, apa yang telah diperjuangkannya untuk mencerdaskan anak bangsa terutama di SMPN 1 Pulau Malan selama 2 tahun berhasil dengan baik. “Utamakan bahasa pengantar bukan hanya bahasa ibu, melainkan juga gunakan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia ini merupakan bahasa nasional,” harap Nelly yang juga menjabat sebagai guru bahasa Indonesia di SMPN 1 RSBI Sampit ini. (***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Lebih Dekat TK Negeri Pembina Sampit

Ahli mesin kerjanya cuma tukang sapu stadion

Wow.. seru, anak TK Cita Bunda dikenalkan proses mencetak koran